Permainan video pendidikan

Permainan video edukasi adalah permainan video yang memiliki aspek nilai pembelajaran atau pelatihan bagi pengguna yang memainkannya. Konsep pendiburan (pendidikan dan hiburan) merupakan penggabungan yang disengaja antara gim video dan perangkat lunak pendidikan dalam satu produk (karena hal itu juga, topik ini dapat mencakup judul yang lebih menjurus yang terkadang dibahas dalam topik perangkat lunak pembelajaran anak-anak). Dalam pengertian yang spesifik untuk pembahasan ini, istilah pendiburan menjelaskan perangkat lunak edukasional yang ditujukan untuk hiburan, namun memiliki aspek yang pembelajaran dan diperjual belikan di bawah payung pendidikan. Biasanya perangkat lunak semacam ini tidak terstruktur pada kurikulum sekolah dan tidak melibatkan peran penasihat pendidikan dalam menentukan kontennya.

Permainan video edukasi memiliki peran penting dalam kurikulum untuk menyampaikan mata pelajaran, maupun mengajarkan keterampilan baru untuk murid. Gamifikasi pendidikan memungkinkan peserta didik untuk berperan aktif dalam aktivitas pembelajaran dan mengembangkan keterampilan teknologi untuk karier mereka. Beberapa kajian terkini menyimpulkan bahwa gim video, baik yang mengandung kekerasan atau tidak, memiliki pengaruh dalam pengembangan keterampilan intelektual dan emosional peserta didik, dan juga mendukung prestasi akademis mereka (Chang dkk., 2009). Berdasarkan temuan ini, banyak guru di seantero dunia memasukkan pembelajaran menggunakan video game edukatif dalam kurikulum mereka.

Definisi

Video game edukasi dibagi menjadi dua kategori: [1]

  • Permainan pendiburan, yaitu permainan yang dirancang untuk mengajarkan materi pelajaran kepada pengguna secara linier, dengan mengemas permainan dengan aspek hiburan.
  • Permainan video edukatif, yaitu permainan yang ditujukan untuk mendorong pemikiran kreatif dan pemecahan masalah, dan mendorong interaktivitas dari pengguna, yang sering kali disajikan dalam pengalaman non-linier.

Kebanyakan permainan edukatif dan permainan pendiburan sengaja dikembangkan untuk digunakan di kelas atau di rumah sebagai media belajar siswa. Meskipun demikian, sejumlah permainan video murni yang tidak didesain untuk tujuan pendidikan memiliki kegunaan dalam pembelajaran. Sebagai contoh, permainan perang strategi yang memiliki referensi sejarah, seperti waralaba permainanTotal War atau trilogi permainan Age of Empires dan permainan yang memiliki ensiklopedia dalam perangkat lunaknya, seperti permainan Civilization. Permainan-permainan ini memiliki unsur pendidikan (dalam konteks ini, pendidikan sejarah) tanpa secara eksplisit bersifat mendidik. Permainan-permainan tersebut awalnya didesain dan dikembangkan untuk pemain berusia dewasa atau anak-anak yang lebih tua dan ternyata berpotensi memiliki implikasi pembelajaran. Sebagian besar permainan-permainan ini menyediakan simulasi berbagai jenis aktivitas manusia, yang memungkinkan para pemain menjelajahi berbagai proses sosial, historis, dan ekonomi dengan menyesuaikan pada latar permainan.

Contoh:

  • Permainan pembangunan kota seperti seri SimCity dan Caesar (1993–2006) memberikan kesempatan untuk pemain mengeksplorasi proses sosial, praktis, dan ekonomi yang ada dalam pengelolaan sebuah kota;
  • Game pembangunan kerajaan seperti seri Civilization (1991–2013) dan seri Europa Universalis (2000–2014) membantu pemain untuk mempelajari sejarah peradaban-peradaban dan aspek politik, ekonomi, dan militernya;
  • Permainan manajemen kereta api seperti Railroad Tycoon (1990–2003) dan Rails Across America (2001) menyajikan sejarah, teknik, dan ekonomi manajemen perkeretaapian.
  • Permainan dalam topik geografi seperti PlaceSpotting (2008–2009) dan GeoGuessr menantang pemain menemukan lokasi di Bumi berdasarkan beberapa petunjuk.
  • Permainan fisika seperti Quantum Moves dan A Slower Speed of Light bertujuan untuk melatih intuisi pemain untuk memahami konsep fisika yang rumit seperti mekanika kuantum dan relativitas khusus.
  • Permainan geometri dengan geometri non-Euclidean, seperti HyperRogue dan Hyperbolica, bertujuan untuk memberikan pemain intuisi mengenai bagaimana ruang non-Euclidean bekerja seperti dalam ruang hiperbolik dan ruang bola .
  • Permainan berbasis kegiatan komersial seperti The Patrician menantang pemain untuk membuat dan mengembangkan kerajaan perdagangan dengan mengelola perolehan, pemrosesan, pengangkutan, dan pertukaran sumber daya dalam wilayah terbatas.

Permainan ini diterima dengan antusias di beberapa kalangan pendidik dan dikaji dalam literatur akademis.[2]

Sebuah kategori permainan pendiburan dimulai oleh tren permainan Bot Colony (2013). Permainan ini bertujuan melatih keterampilan bahasa Inggris dengan bercakap-cakap dengan robot cerdas sebagai bagian dari permainan petualangan.[3]

Desain

Ragam permainan yang dikembangkan dan dirilis sejak pertengahan tahun 1990-an dan seterusnya, memiliki aspek pendidikan untuk anak-anak kecil. Pengembangan selanjutnya dari judul-judul ini merujuk kepada konten pendidikan dalam kurikulum sekolah seperti Kurikulum Nasional Inggris. Desain permainan edukatif untuk penggunaan di rumah dipengaruhi oleh konsep permainan yang menyenangkan dan tetap mendidik.

Berikut ini adalah contoh perangkat lunak pembelajaran anak yang memiliki pendekatan pedagogi terstruktur, biasanya berorientasi pada pengembangan keterampilan literasi dan numerasi.

  • Permainan pendidikan yang dikembangkan oleh Disney Interactive berdasarkan karakter dari animasi seperti Winnie-the-Pooh, Aladdin, The Jungle Book, dan Mickey Mouse
  • Permainan GCompris, berisi berbagai aktivitas, mulai dari penjelajahan penemuan komputer hingga sains
  • Seri JumpStart dari jenama Knowledge Adventure yang dikembangkan oleh Sistem Pembelajaran Blaster.
  • Seri Reader Rabbit, seri ClueFinders dan Zoombinis yang dikembangkan oleh The Learning Company.

Sejarah

Permainan mainframe awal dengan judul The Sumerian Game (1964) meskipun bukanlah permainan manajemen sumber daya pertama, tetapi merupakan permainan pertama yang didesain untuk dimainkan oleh siswa sekolah dasar.[4] Pada tahun 1970 penerbit Abt menerbitkan sebuah buku dengan judul: Serious games: The art and science of games that simulate life ("Permainan serius: Seni dan sains desain permainan yang mensimulasikan kehidupan.")[5]

Permainan edukatif menjadi lebih populer pada awal tahun 1980-an karena sejumlah faktor. Keruntuhan permainan video tahun 1983 menyebabkan pasar penjualan gim konsol di Amerika Serikat runtuh, digantikan oleh pasar komputer rumahan yang sedang naik daun. Selain itu, pasar gim arkade juga terpengaruh oleh kejatuhan pasar gim video, namun juga melemah akibat kepanikan moral seputar arkade permainan video karena dianggap memiliki hubungan dengan meningkatnya kekerasan dan kasus kecanduan permainan video. Pengembang permainan komputer berupaya untuk mengambil keuntungan dari keadaan ini dengan mendesain permainan edukatif untuk komputer rumahan yang tidak terbatas pada hiburan untuk anak-anak namun juga memenuhi ekspektasi orang tua dan pelaku pendidikan.[6][7] Pada bulan September 1983, koran Boston Phoenix memberitakan bahwa permainan pendiburan menjadi ladang menguntungkan untuk perusahaan pengembang gim setelah berakhirnya pertumbuhan pasar perangkat lunak Atari 2600.[8] Pada tahun 1983, istilah "pendiburan" digunakan untuk mendeskripsikan permainan perangkat lunak untuk perangkat Mikrokomputer Oric 1 dan Spectrum di Inggris. Permainan tersebut dijuluki "arkade pendiburan", yang muncul di iklan permainan tersebut yang dapat ditemukan di berbagai edisi majalah "Your Computer" pada tahun 1983. Paket perangkat lunak permainan tersebut disediakan oleh Telford ITEC, sebuah program pelatihan yang disponsori pemerintah Amerika Serikat. Pencetus nama tersebut adalah Chris Harvey yang saat itu merupakan pegawai ITEC.

Sejak itu, banyak permainan komputer lainnya seperti Seven Cities of Gold yang dikembangan oleh Electronic Arts dan dirilis pada tahun 1984, juga menggunakan istilah pendiburan untuk menjelaskan perangkat lunaknya. Kebanyakan permainan pendiburan berupaya untuk mengajar menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis permainan. Meskipun demikian, terdapat kritik mengenai permainan video edukatif telah menyebabkan terciptanya "permainan serius" yang fokus utamanya adalah untuk mengajar ketimbang menghibur.[9]

Psikolog Simon Egenfeldt-Nielsen melakukan kajian mengenai penggunaan dalam konteks pendidikan gim edukatif dan potensi gim edukatif. Dia menerbitkan ragam artikel dalam subjek tersebut. Salah satu artikel yang ia terbitkan membahas secara khusus mengenai pendiburan membagi konsep tersebut ke dalam 3 kategori umum untuk memisahkan metode kognitif yang paling dominan digunakan untuk mengajar.[10] Ia melakukan kritik mengenai penelitian yang telah dilakukan terhadap penggunaan permainan komputer dalam dunia pendidikan, dengan mengutip bias dan kelemahan metode penelitian tersebut, yang menyebabkan temuannya kurang valid secara ilmiah.

Dalam pendidikan

Gim memberikan struktur untuk melatih keterampilan pemecahan masalah. Struktur ini memberikan kesempatan bagi pemain untuk untuk "gagal", dalam artian dengan kombinasi antara tantangan dan kesenangan serta pembentukan identitas dalam permainan, siswa akan termotivasi untuk memecahkan masalah tersebut. Hal ini termasuk dalam kegagalan yang produktif. Aspek coba dan gagal ini memakan waktu beberapa kali sebelum keberhasilan tercapai, tetapi terdapat kemajuan diperoleh setiap iterasi dan begitu pula pengetahuan tentang cara memecahkan masalah itu. Iterasi dan penemuan menjadi dua aspek utama dalam pembelajaran melalui bermain gim. Banyak siswa mengalami kemudahan dalam memahami pelajaran melalui gim ketimbang melalui pembelajaran di kelas. Siswa mungkin tidak menyadari bahwa saat bermain, mereka juga mempelajarai hal baru. Permainan harus menyertakan hal-hal baru. Kejadian yang tak terduga dan pilihan yang menantang memungkinkan pemain ingin terus bermain. Memiliki cerita atau narasi dalam permainan adalah hal yang benar-benar dapat menarik pemain ke dalam permainan. Hal ini memungkinkan umpan balik dan tantangan berkelanjutan pada tingkat kesulitan yang tepat, sekaligus menghindari frustrasi.[11]

Saat mengembangkan permainan pembelajaran yang sukses untuk kelas, ini dapat menjadi tugas yang menantang. Agar permainan dapat menunjukkan pencapaian dalam pembelajaran siswa, permainan tersebut harus memiliki kualitas tertentu. Pengembangan permainan yang sukses untuk meningkatkan pembelajaran memerlukan perhatian pada faktor-faktor yang berlawanan. Kreativitas dan daya cipta diperlukan untuk membantu hasil kerja agar berjalan dengan baik dan lancar. Permainan harus mengambil pendekatan yang berlawanan dengan prinsip latihan dan praktik, karena hal ini menyederhanakan permainan dan membatasi domain pengetahuan. Tiga faktor yang perlu diingat saat merancang permainan yang kuat dan sukses adalah integrasi, motivasi, dan fokus. Agar pemain dapat maju dalam permainan, mereka harus menguasai tujuan dan sasaran pembelajaran di balik permainan. [12] Permainan harus diintegrasikan dengan tujuan pembelajaran. Dalam konten yang perlu diajarkan melalui permainan, perlu ditekankan bahwa untuk dapat berhasil dalam permainan, kita harus mengetahui informasi yang menciptakan arti penting bagi pemain. Permainan harus memotivasi semaksimal mungkin dan harus menimbulkan tantangan. Aktivitas utama permainan harus bersifat interaktif dan menarik bagi siswa. Permainan adalah tentang pengambilan keputusan, di mana Anda melihat apa konsekuensinya dan umpan balik apa yang Anda terima. Permainan mengajarkan siswa tentang hadiah, tetapi dibutuhkan usaha untuk menerima hadiah tersebut. Tindakan dalam permainan harus relevan dengan kehidupan di luar permainan, sehingga pembelajaran dapat terjadi. Fokus dapat terjadi paling berhasil ketika seseorang belajar melalui eksplorasi, pengoperasian, atau interaksi.

Guru lebih rutin menggunakan permainan yang berfokus pada berbagai tujuan, sekaligus memaparkan lebih banyak genre dan perangkat permainan kepada siswa. Ada lebih banyak struktur, yang membuatnya lebih mudah bagi guru, dan para siswa menikmatinya. Siswa menjadi sangat fasih dalam penggunaan alat-alat daring. Data pembelajaran dapat dihasilkan dari penggunaan permainan daring, yang memungkinkan guru memperoleh wawasan tentang pengetahuan yang telah diperoleh anak-anak, dan apa yang perlu ditingkatkan; ini kemudian dapat membantu guru dengan kurikulum dan pengajaran mereka.

Sebuah studi nasional yang melibatkan 488 guru K–12 di Amerika Serikat menemukan bahwa, pada tahun 2013, lebih dari setengah guru menggunakan permainan digital di kelas setiap minggu. [13] Kebanyakan ruang kelas sekarang telah mengganti papan tulis tradisional dengan Papan Pintar, yang membawa teknologi ke dalam ruang kelas. Seiring kita melangkah maju ke era digital, sebagian besar sekolah menyediakan pelajaran tentang literasi komputer untuk memastikan siswa fasih dalam hal teknologi. Demikian pula, penggunaan video game edukasi yang dirancang dengan baik memberikan pembelajaran berbasis permainan yang dapat memotivasi siswa untuk berpartisipasi lebih antusias dalam mata pelajaran, termasuk mata pelajaran yang seringkali kurang populer. Perlu dicatat juga bahwa video game edukasi menawarkan lebih banyak interaksi, umpan balik langsung, baik bagi siswa maupun guru, dan lebih banyak kontrol siswa. [14] Permainan video edukasi yang melibatkan aspek realitas, memberikan siswa kesempatan untuk terlibat dalam lingkungan interaktif yang biasanya tidak dapat mereka ikuti [15] namun dapat dilakukan dari dalam kelas yang aman. 

Ketika permainan video menyebar pada tahun 1980-an, potensi pendidikannya diteliti. Temuannya menunjukkan bahwa koordinasi visual dan motorik pemain game lebih baik daripada non-pemain. Penelitian awal juga menunjukkan pentingnya permainan elektronik bagi anak-anak yang terbukti mengalami kesulitan mempelajari mata pelajaran dan keterampilan dasar. [16] Ditemukan pula bahwa:

  • Permainan video membantu siswa mengidentifikasi dan mencoba memperbaiki kekurangan mereka.
  • Kemampuan beradaptasi permainan video, dan kendali yang dimiliki pemain terhadapnya, memotivasi dan merangsang pembelajaran.
  • Dalam kasus di mana siswa mengalami kesulitan berkonsentrasi, permainan video dapat sangat berguna.
  • Mempromosikan kesadaran kritis komunitas wacana.
  • Umpan balik instan yang diberikan oleh permainan video membantu membangkitkan rasa ingin tahu dan pada gilirannya memungkinkan peluang belajar yang lebih besar.
  • Permainan video mengajarkan kerja sama.

Salah satu argumen umum untuk penggunaan permainan video dalam pendidikan adalah bahwa permainan video memungkinkan pembelajaran dari simulasi tanpa adanya bahaya terkait dengan kesalahan. Misalnya, Angkatan Udara menggunakan simulasi piloting untuk melatih pilot mereka cara menerbangkan pesawat terbang. Simulasi ini dimaksudkan untuk mempersiapkan pilot pelatihan untuk kondisi penerbangan dunia nyata sekaligus mencegah kerusakan atau hilangnya nyawa dalam prosesnya. Seorang pilot dapat melakukan kecelakaan dalam simulasi, belajar dari kesalahannya, lalu mengatur ulang dan mencoba lagi. Proses ini mengarah pada tingkat penguasaan yang berbeda atas simulasi dan pada gilirannya pada pesawat yang akan mereka terbangkan di masa mendatang. Militer juga memanfaatkan permainan seperti waralaba ARMA dan Socom dalam pelatihan mereka. Permainan seperti ini membawa pemainnya ke dalam dunia permainan dan akan berusaha mencapai tujuan apa pun yang ditetapkan bagi mereka dengan menggunakan keterampilan taktis mereka. Hal ini memungkinkan militer untuk menunjukkan kepada prajurit mereka bagaimana menghadapi situasi tertentu tanpa risiko cedera. [17]

Semua jenis permainan telah terbukti meningkatkan berbagai keterampilan bagi pemain. Upaya telah dilakukan untuk menunjukkan bahwa permainan aksi dan platform bergaya arcade dapat digunakan untuk mengembangkan koordinasi motorik, keterampilan manual, dan refleks. Banyak penulis telah mencatat potensi pendidikan dari permainan seperti The Sims (untuk simulasi sosialnya ) atau seri Civilization (untuk elemen sejarah dan strateginya), menyimpulkan bahwa permainan video secara keseluruhan mempromosikan pengembangan intelektual, dan menyarankan bahwa pemain dapat menggunakannya untuk mengembangkan strategi pengetahuan, berlatih pemecahan masalah, dan dapat meningkatkan keterampilan spasial . [18] Meskipun permainan video tertentu telah digunakan, permainan jenis pembelajaran lainnya diciptakan secara khusus untuk membantu siswa dalam belajar untuk kelas pendidikan. [19]

Perbandingan dengan model kelas

Permainan video ditemukan lebih menarik dalam lingkungan kelas; alih-alih menyediakan informasi selama periode kelas yang panjang, permainan menyediakan sejumlah kecil informasi pada tahap yang relevan. Bermain video game membantu siswa dengan metakognisi ; keterampilan metakognitif yang kuat telah terbukti membantu mengembangkan keterampilan akademis dan memungkinkan siswa untuk belajar tentang kekuatan dan kelemahan mereka serta meningkatkan kinerja akademis mereka. [20] Permainan video yang digunakan sebagai objek pembelajaran di kelas dapat memungkinkan siswa menjadi pembaca retorika yang terampil dengan memaparkan literatur dan bahasa dari komunitas wacana yang berbeda dan dengan mendorong siswa untuk berlatih membaca struktur simbolik dari permainan video yang pada dasarnya berbasis konsumsi. [21] Penggunaan video game di kelas merupakan sebuah model yang telah digunakan selama lebih dari satu dekade, meskipun hal ini bukanlah sebuah ide dan prosedur yang tersebar luas di setiap kelas K-12. [22]

Penggunaan

Beberapa penelitian telah mencoba menjawab, "Bagaimana dan sejauh mana permainan digunakan di kelas?" Dalam satu penelitian, lima puluh tiga guru ESL Swedia disurvei; hasilnya adalah bahwa permainan video di kelas hampir tidak digunakan. Meskipun para guru terbuka terhadap gagasan tersebut, mereka tidak mengidentifikasi manfaat penerapan permainan video pada kurikulum. Video game menciptakan kegembiraan, bukan untuk belajar, tapi untuk permainannya. [23]

Meskipun ada orang yang tidak setuju dengan gagasan penggunaan permainan video di kelas, yang lain berpikiran terbuka terhadap eksperimen tersebut. Permainan video adalah hiburan interaktif. Mereka mempromosikan keterampilan intelektual yang mendukung prestasi akademis. Dalam menyediakan materi pelajaran pendidikan kepada siswa, mereka menunjukkan keunggulan lebih jauh. Memanfaatkan permainan video di kelas hanyalah teknik lain untuk melibatkan siswa. [24]

Sebuah penelitian dilakukan dalam "intervensi 3 minggu dengan aktivitas pembelajaran berbasis permainan di delapan ruang kelas sekolah menengah pertama." Penelitian tersebut menemukan bahwa permainan video merupakan motivasi bagi siswa yang tidak tertarik dengan lingkungan pendidikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterlibatan dan partisipasi siswa. Partisipasi kelas meningkatkan daya ingat materi. Dorongan untuk keterlibatan siswa di kelas sangat direkomendasikan. [25]

Manfaat potensial

Beberapa guru telah mencoba menggunakan permainan video dalam suasana kelas. Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa bagi anak kecil, video game edukatif dapat meningkatkan keterlibatan siswa. [26]

Permainan video pada hakikatnya adalah sistem berbasis insentif di mana pemain diberi penghargaan karena memecahkan masalah atau menyelesaikan misi, sambil memenuhi kriteria tertentu. [26] Oleh karena itu, permainan video melatih cara berpikir sistematis serta pemahaman tentang bagaimana variabel yang berbeda mempengaruhi satu sama lain. [26] Selain itu, permainan video dapat terus-menerus dan secara otomatis menilai kemampuan pelajar pada saat tertentu karena sifat media yang berbasis perangkat lunak; struktur pendidikan modular cenderung memberikan penilaian dalam potongan besar dan menyajikan gambaran yang relatif terbatas tentang kemajuan pelajar. [26] Beberapa artikel penelitian telah menunjukkan bahwa metode pembelajaran ini bisa lebih menyenangkan dan menunjukkan hasil positif terhadap motivasi siswa, dan menemukan bahwa permainan sama efektifnya atau lebih efektif dibandingkan pembelajaran konvensional. [27]

Permainan video seperti Minecraft dan Portal telah disarankan sebagai platform bagi guru untuk bereksperimen dengan kemampuan pendidikan mereka. Minecraft adalah permainan kotak pasir di mana pengguna dapat membuat objek menggunakan sistem kerajinan, sementara Portal adalah permainan fisika : pemain menggunakan hukum fisika, seperti gravitasi dan inersia, untuk maju melalui serangkaian ruang uji permainan. Pemikiran kritis dan pemecahan masalah melekat dalam desain game terakhir. Baik Minecraft maupun Portal dapat diadaptasi ke beberapa lingkungan belajar; misalnya, Minecraft telah digunakan untuk anak kecil sementara Portal telah digunakan oleh guru fisika sekolah menengah. Portal 2 juga telah digunakan untuk mengembangkan keterampilan kognitif pada mahasiswa sarjana yang lebih tua. [28] Sebuah studi tahun 2017 menemukan bahwa permainan termasuk Portal 2, Borderlands 2, Gone Home dan Papers, Please dapat digunakan untuk mengembangkan berbagai keterampilan pada mahasiswa sarjana, seperti komunikasi, akal dan kemampuan beradaptasi. [29]

Sebuah penelitian [30] menunjukkan bahwa penggunaan permainan video sebagai bagian dari diskusi kelas, serta memasukkan latihan yang tepat waktu dan menarik yang menghubungkan permainan dengan materi kelas, dapat meningkatkan kinerja dan keterlibatan siswa. Para instruktur menugaskan beberapa kelompok siswa untuk memainkan permainan video SPORE dalam kursus biologi mahasiswa baru tentang evolusi. Kelompok mahasiswa yang ditugaskan bermain SPORE dan menyelesaikan latihan terkait, dalam total lima sesi sepanjang semester, memiliki skor kelas rata-rata sekitar 4% lebih tinggi daripada kelompok yang tidak bermain game. Ketidakakuratan dalam permainan membantu merangsang pemikiran kritis pada siswa; seorang siswa mengatakan bahwa permainan membantunya memahami "bagian-bagian penting dari seleksi alam, seleksi buatan, survival of the fittest, dan keanekaragaman genetik karena kesalahan dalam permainan. Permainan ini seperti teka-teki." Namun, karena permainan ini disertai dengan latihan tambahan dan perhatian instruktur, penelitian ini tidak sepenuhnya membuktikan hipotesis bahwa permainan video secara terpisah meningkatkan keterlibatan siswa.

Siswa yang telah memainkan Europa Barbarorum memiliki pengetahuan tentang geografi sejarah melampaui cakupan yang diajarkan selama kursus sejarah kuno dasar. Mereka mampu mengidentifikasi tahap-tahap terpenting perkembangan peradaban dalam kasus negara-negara era Helenistik dan sangat berpengetahuan tentang sejarah militer dan sejarah seni . Pengetahuan ini sebagian besar diperoleh dari deskripsi komprehensif yang disertakan dalam permainan; siswa juga mengakui bahwa setelah memainkan permainan, mereka jauh lebih bersemangat untuk membuka buku-buku yang membahas periode sejarah tertentu. Namun, apakah niat ini terwujud dalam bentuk lebih banyak membaca periode sejarah masih belum jelas. [31]

Sumber lain[32] mempelajari guru yang menggunakan Civilization III di kelas sejarah sekolah menengah, baik selama maupun setelah sekolah. Dalam penelitian ini, tidak semua siswa setuju dengan penggunaan permainan. Banyak siswa menganggapnya terlalu sulit dan membosankan. Beberapa siswa, terutama siswa berprestasi, khawatir tentang bagaimana hal itu dapat memengaruhi studi mereka; mereka merasa bahwa "Civilization III tidak cukup untuk mempersiapkan 'permainan' pendidikan tinggi." Namun, siswa yang gagal dalam lingkungan sekolah tradisional sering kali berprestasi jauh lebih baik dalam unit berbasis permainan, dan permainan tersebut tampaknya menarik perhatian mereka sedangkan sekolah tradisional tidak.

Menurut sebuah artikel tentang permainan video interaktif dalam pendidikan jasmani, banyak dari jenis permainan ini bukan sekadar latihan animasi. Banyak yang memiliki penilaian dan skor berbeda berdasarkan kinerja keterampilan. Beberapa memiliki monitor detak jantung dan memperkirakan pengeluaran kalori. Lainnya dirancang dengan mempertimbangkan peningkatan kemampuan motorik. Kemampuan seperti keseimbangan, koordinasi tangan-mata, kelincahan dan kekuatan inti adalah beberapa keterampilan motorik yang ditingkatkan. Permainan yang menarik dan interaktif ini memiliki kemampuan untuk mengajarkan anak-anak tentang beberapa fungsi fisiologis tubuh. Salah satu contohnya adalah permainan ini dapat membantu menunjukkan kepada anak-anak bagaimana jantung mereka bereaksi terhadap berbagai aktivitas dengan menggunakan monitor detak jantung dalam permainan tersebut. [33]

Sebuah penelitian mengambil permainan Semideus untuk melihat apakah permainan itu dapat membantu meningkatkan kinerja pada tugas bilangan rasional, pemahaman bilangan bulat, dan pemikiran matematika secara umum. Studi tersebut menyimpulkan bahwa jika anak-anak diperkenalkan pada permainan yang memiliki matematika yang terintegrasi dengan baik ke dalam permainan, maka permainan tersebut akan membantu mereka dalam meningkatkan keterampilan mereka. Penelitian ini merekomendasikan agar guru terlibat dalam pembelajaran berbasis permainan untuk meningkatkan efektivitasnya dalam pembelajaran siswa. [34]

Menurut artikel jurnal, permainan video simulasi membuat pemain belajar berpikir kritis sambil memperoleh pengetahuan tentang lingkungan. Pemain belajar memecahkan masalah melalui coba-coba. Pemain dapat belajar sambil melakukan. Mereka belajar dengan mengalami sesuatu secara langsung dan bermain peran. Lingkungan virtual ini memungkinkan pembelajaran yang lebih baik, kolaborasi, dan peningkatan keterampilan penalaran praktis. [35]

Dalam beberapa disiplin ilmu, permainan dirancang khusus untuk meningkatkan pembelajaran dalam konsep-konsep yang menantang, seperti anatomi dan fisiologi dalam gelar kedokteran. [36] [37]

Kemungkinan efek negatif

Salah satu argumen untuk kemungkinan dampak negatif menjelaskan bagaimana anak-anak sudah menghabiskan terlalu banyak waktu dengan teknologi di luar kelas. Dijelaskan bahwa lebih dari tujuh setengah jam sehari digunakan oleh anak-anak berusia delapan hingga delapan belas tahun pada media di luar sekolah. Dengan banyaknya waktu yang dihabiskan anak-anak untuk menggunakan teknologi, argumen ini mengklaim bahwa waktu yang dihabiskan di depan layar dapat menggantikan komunikasi tatap muka yang penting dan dapat berdampak negatif pada keterampilan komunikasi tatap muka anak-anak. Untuk mengetahui apakah ini benar atau tidak, dilakukan eksperimen yang melibatkan dua kelompok yang diambil dari sekolah yang sama. Satu kelompok pergi ke sebuah perkemahan di mana mereka menjalani banyak kegiatan ikatan yang berbeda tanpa akses ke layar selama lima hari. Sementara kelompok kedua tetap di sekolah dan diizinkan menggunakan layar mereka sebagaimana biasa. Untuk menguji keterampilan komunikasi tatap muka, kedua kelompok mengikuti tes sebelum dan sesudah untuk perbandingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka yang tidak ikut serta selama lima hari memiliki kemampuan lebih baik dalam membaca emosi wajah dibandingkan kelompok kontrol. [38]

Batasan dalam penggunaan gim

Banyak guru memiliki keraguan dalam penggunaan permainan video. Sebuah penelitian [39] menanyakan kepada guru yang memiliki pengalaman menggunakan permainan di kelas mengapa mereka tidak melakukannya lebih sering. Enam kategori umum faktor diidentifikasi sebagai area permasalahan:

  • Kurikulum yang tidak fleksibel: Guru merasa sulit untuk mengintegrasikan permainan dengan kurikulum yang sudah ada di kelas. Mungkin sulit untuk menemukan permainan yang mendidik sekaligus menyenangkan. Dan banyak guru tidak memiliki pengalaman dalam menggunakan permainan untuk mengajar. Belajar dengan permainan mungkin tidak diterima oleh orang tua yang skeptis yang secara pribadi belajar dengan teknik yang lebih konvensional. Bidang studi permainan interdisipliner telah menawarkan berbagai perspektif untuk melengkapi cara-cara analisis dan produksi retorika tradisional, yang harus disesuaikan untuk mengatasi keunikan yang ditawarkan oleh video game sebagai media yang kontras dengan model pendidikan perbankan tradisional. [21]
  • Stigma: Permainan video dikaitkan dengan permainan anak-anak atau hiburan santai bagi populasi remaja, yang menciptakan ketegangan antara realitas permainan video dan peningkatan sudut pandang pendidikan anak. Permainan video dianggap dapat mengalihkan anak dari keseriusan akademis dan dianggap sebagai kegiatan yang tidak produktif. [40]
  • Masalah psikologis: Permainan dapat meningkatkan kecanduan siswa dan juga masalah fisik. Siswa juga mungkin kehilangan keinginan untuk belajar di lingkungan tradisional. Hal ini juga dapat menghilangkan kontrol guru dan mengakibatkan "persaingan yang berlebihan".
  • Kurangnya kesiapan siswa : Siswa memiliki berbagai tingkat keterampilan dan literasi komputer, yang dapat dipengaruhi oleh status sosial ekonomi mereka. Dibutuhkan waktu untuk mengajari mereka aturan permainan, dan permainan lebih sulit bagi mereka untuk dipahami daripada audiovisual tradisional.
  • Kurangnya materi pendukung : Guru tidak memiliki akses ke teks pendukung atau pekerjaan bagi siswa untuk dikerjakan di samping permainan.
  • Jadwal kelas tetap: Guru memiliki keterbatasan waktu dan sekolah mungkin tidak mengizinkan mereka menggunakan permainan. Permainan yang lebih canggih, seringkali menghasilkan konten pembelajaran terbanyak, seringkali membutuhkan waktu berjam-jam untuk dipelajari, dan lebih banyak waktu untuk dimainkan. Tutorial untuk Civilization V memakan waktu satu jam untuk diselesaikan, dan permainan lengkap dapat memakan waktu puluhan jam.
  • Anggaran terbatas : Peralatan komputer, perangkat lunak, dan koneksi internet cepat mahal dan sulit diperoleh oleh guru.
  • Relevansi dengan Inti Umum : Sistem pendidikan semakin didorong oleh pengujian standar yang berfokus pada penilaian topik inti umum. Ada permainan untuk topik ini (glasslabgames.org), tetapi permainannya secara umum tidak kompetitif dengan permainan video komersial.

Beberapa guru lebih peduli terhadap beberapa masalah dibandingkan masalah lainnya. Guru laki-laki kurang peduli dengan anggaran terbatas, jam pelajaran tetap, dan kurangnya materi pendukung dibandingkan guru perempuan. Guru yang kurang pengalaman akan lebih khawatir mengenai jadwal kelas yang tetap dan minimnya materi pendukung dibandingkan guru yang sudah berpengalaman.[butuh rujukan]

Belajar dari permainan video di luar kelas

Permainan video komersial secara umum, disebut sebagai permainan komersial siap pakai (COTS), telah disarankan memiliki peran penting dalam membantu pembelajaran berbagai keterampilan penting yang dapat ditransfer.[26] Salah satu contohnya adalah permainan tembak-menembak orang pertama seperti waralaba Call of Duty (meskipun permainan ini pada dasarnya mengandung unsur kekerasan, dan telah menerima tanggapan negatif yang sangat besar dari para orang tua dengan berbagai alasan). Meskipun waralaba Call of Duty sendiri kurang memiliki strategi taktis atau realisme yang sebenarnya, ada banyak permainan dalam genre yang sama (first-person shooter) yang darinya seseorang dapat mempelajari keterampilan utama dari permainan: mereka merangsang pemain di tingkat kognitif saat mereka bergerak melalui level, misi, atau permainan secara keseluruhan. [26] Mereka juga mengajarkan strategi, karena pemain harus menemukan cara untuk menembus garis musuh, menghindari musuh secara diam-diam, meminimalkan korban, dan sebagainya. Pemain dapat menguji penggunaan keterampilan ini menggunakan aspek multipemain dalam permainan ini. Permainan ini juga memungkinkan pemain untuk meningkatkan penglihatan tepi mereka, karena mereka perlu memperhatikan pergerakan di layar dan membuat keputusan cepat tentang apakah itu ancaman, untuk menghindari pemborosan amunisi atau melukai pemain sekutu.

Permainan lain, seperti waralaba Guitar Hero dan Rock Band, telah digunakan untuk memberikan wawasan tentang sifat dasar pendidikan dalam permainan video. Keberhasilan dalam permainan ini mengharuskan pemainnya untuk gagal berkali-kali terlebih dahulu – ini adalah satu-satunya cara untuk mempelajari tindakan yang tepat.[26] Permainan ini juga memberikan umpan balik secara langsung mengenai seberapa baik kinerja pemain, suatu area yang tidak dimiliki oleh sistem pendidikan tradisional.[26] Keuntungan utama dari permainan video adalah tidak ada kerugian jika gagal, tidak seperti dalam kehidupan nyata, di mana kegagalan biasanya mengakibatkan konsekuensi negatif.[26]

Permainan yang sifatnya mirip dengan Animal Crossing memberikan kesempatan bagi para pemainnya untuk melatih berbagai keterampilan yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan, seperti manajemen waktu, nilai materialistis, investasi dalam rencana pembayaran, pengembangan keterampilan, dan berbagai kegiatan sehari-hari yang berbasis lingkungan. Nilai dari karakter-karakter binatang animasi yang lucu, yang masing-masing memerankan sifat bertetangga dalam permainan video, menumbuhkan nilai persahabatan yang terutama berfokus pada praktik sosial yang dipelajari saat bermain permainan. Pemain dapat merasakan peningkatan pemahaman, evaluasi, dan keterampilan berpikir yang diperoleh dengan memainkan permainan animasi yang mengirimkan pesan tentang praktik budaya, sosial, atau politik. [40]

Sebuah proyek penelitian yang melibatkan penggunaan video game secara positif diuraikan dalam sebuah artikel yang berfokus pada penelitian yang menunjukkan adanya manfaat kesehatan dalam bermain video game. Artikel ini [41] menyajikan informasi dari penelitian yang dilakukan oleh University of Utah, Deakin University di Melbourne, Australia, Annual Review of Cybertherapy and Telemedicine tahun 2009, University of Washington, Visual Development Lab di McMaster University, Ontario, University of Rochester di New York, dan North Carolina State University. Para peneliti dari universitas-universitas ini menemukan bahwa permainan video bersifat terapeutik bagi anak-anak dengan penyakit kronis, dapat meningkatkan kemampuan motorik anak-anak prasekolah, mengurangi stres dan depresi, memberikan penghilang rasa sakit, meningkatkan penglihatan, meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan, dan juga menjaga kebahagiaan di usia tua.[41]

Sebuah studi menunjukkan bahwa permainan video komersial dapat membantu pemain meningkatkan keterampilan tertentu seperti komunikasi, akal, dan kemampuan beradaptasi. Dalam penelitian ini mahasiswa sarjana ditugaskan secara acak untuk dimasukkan ke dalam kelompok intervensi atau kelompok kontrol. Untuk mengukur kemampuan adaptasi, sumber daya dan komunikasi, instrumen laporan diri diberikan kepada kedua kelompok. [42]

Kebutuhan pendidikan khusus

Anak-anak dari semua jenis bertumbuh subur selama pembelajaran berbasis permainan. Anak-anak dengan kebutuhan khusus, baik fisik maupun kognitif, sering kali membutuhkan materi yang berbeda untuk membantu pendidikan mereka. Banyak sekolah yang berupaya untuk memasukkan siswa berkebutuhan pendidikan khusus ke dalam kelas dan sekarang, dengan bantuan teknologi, sekolah mulai menutup kesenjangan tersebut dan memberikan anak-anak penyandang disabilitas kesempatan yang sama untuk belajar dan berkomunikasi. [43]

Ada banyak permainan video yang dibuat dalam beberapa dekade terakhir yang secara khusus menargetkan anak-anak berkebutuhan khusus, Dreamware adalah salah satunya. Perangkat ini menggunakan pelatihan integrasi sensorik visual, pendengaran, suhu, dan getaran yang terbukti mampu menarik perhatian anak, membuat mereka tetap fokus dalam jangka waktu lebih lama, sehingga memungkinkan anak untuk belajar lebih banyak. [44]

Permainan video edukasional lainnya yang ditujukan bagi mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus mencakup realitas virtual, karena dapat memberikan pengalaman membangun pengetahuan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Profesor Standen dari Universitas Nottingham menyimpulkan bahwa siswa remaja dengan disabilitas intelektual berat yang berlatih berbelanja di supermarket virtual lebih cepat dan lebih tepat dibandingkan mereka yang tidak melakukannya. [45] Hal ini menunjukkan bahwa siswa dapat memperoleh keterampilan hidup yang penting melalui permainan video dan kemudian dapat mentransfer pengetahuan tersebut ke lingkungan nyata, menjadikannya alat yang berharga dalam pendidikan.

Kepentingan bagi pelajar

Video game edukatif membantu pelajar dalam pengembangan pemahaman membaca dan keterampilan kognitif. [12] Bagi para guru, permainan video yang memiliki nilai edukasional berfungsi sebagai materi yang relevan untuk melibatkan siswanya. Oleh karena itu, permainan video dapat digunakan sebagai sistem pembelajaran mendalam yang menyediakan kombinasi teknologi digital, narasi yang kaya, dan permainan dunia nyata. Melalui permainan, siswa belajar melatih ketahanan, berpikir kritis, dan keterampilan memecahkan masalah dengan mengidentifikasi berbagai solusi untuk suatu masalah. [46] Dengan memperkenalkan mereka pada video game edukatif, orang tua dan guru dapat membuat anak-anak tertarik pada teknologi dan keterampilan teknis sejak usia dini.

Permainan video edukatif penting untuk pembelajaran individual. Mengingat setiap pelajar berbeda, guru selalu mencari sumber daya yang memadai yang akan menyediakan setiap pelajar dengan rencana pembelajaran individual. Permainan video memungkinkan siswa mempelajari konsep baru sesuai kecepatan mereka sendiri tanpa harus terus-menerus diawasi oleh orang tua dan guru (Chang dkk., 2009). Pengalaman para pemain dapat disesuaikan berdasarkan preferensi dan kinerja mereka. Permainan secara otomatis disesuaikan untuk menghadirkan tantangan tingkat tinggi setelah menyelesaikan setiap masalah. Jika mereka mengalami kesulitan dengan suatu konsep, maka permainan disesuaikan untuk menyajikan konsep yang sama dengan cara yang berbeda hingga siswa memahaminya. Permainan video menyeimbangkan kenikmatan dengan tingkat tantangan yang tepat, yang membuat pemain berada dalam zona pembelajaran yang menantang dan menarik secara optimal.

Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang bermain video game edukatif memiliki peningkatan keterampilan visual-spasial. Misalnya, sesi permainan sederhana dapat membantu pelajar memvisualisasikan topik sains dengan cara yang membantu mereka belajar lebih baik. Anak-anak yang bermain video game edukatif telah mempertajam keterampilan perhatian visual dan meningkatkan kapasitas untuk memvisualisasikan objek 3D (Achtman et al. 2008). Lebih jauh lagi, video game edukatif dapat meningkatkan kemampuan membidik dan koordinasi tangan-mata. Permainan video merupakan salah satu sektor pembelajaran sebagai kegiatan yang mempertajam persepsi anak sekaligus responnya terhadap dunia.

Keterbatasan

Salah satu keterbatasan utama permainan video edukatif adalah hanya menyediakan sedikit ruang untuk permainan spontan. Seorang anak mungkin terlibat dan memiliki sejumlah kendali dalam sebuah permainan tetapi pada akhirnya tidak dapat mengendalikan arah permainan itu, sehingga menghambat gagasan bermain mandiri sebagai sarana pembelajaran. Telah diketahui bahwa video game edukasi dapat membantu siswa untuk fokus; namun, setelah permainan berakhir banyak siswa yang merasa sulit untuk beradaptasi kembali dengan kecepatan penerimaan informasi yang lebih lambat di kelas. [12]

Penting juga bagi siswa untuk dapat mengajukan pertanyaan tentang topik yang tidak sepenuhnya mereka pahami. Seorang guru yang mengawasi mungkin dapat membantu siswa sedangkan komputer tidak dapat memberikan jawaban atas semua pertanyaan yang diajukan. Penggunaan permainan komputer edukatif juga bergantung pada pengetahuan awal guru mengenai cara kerja permainan dan kemampuan melek komputer. [47]

Terlepas dari antusiasme seputar video game dan pembelajaran, sangat sedikit penelitian yang sampai pada jawaban konklusif mengenai apakah video game edukasional meningkatkan prestasi akademik dan kinerja di kelas. [48] Meskipun individu dapat mengembangkan kemampuan khusus dalam permainan, kemampuan tersebut mungkin tidak dapat ditransfer ke keterampilan akademis tradisional yang dibutuhkan untuk belajar. [49] Hanya penelitian tambahan yang dapat mengetahui apakah bermain video game edukatif dapat meningkatkan perilaku di kelas dan keterampilan akademis.

Klip video

  • Sejarah - meskipun "Berita adalah cuplikan sejarah pertama" seringkali merupakan kenyataan, [50] New York Times mengecam "kekosongan dalam pikiran generasi muda tentang apa pun yang terjadi sebelum berita utama atau siaran berita hari ini" [51] mereka mempromosikan video pendidikan tentang sejarah sebagai "alat baru untuk menghidupkan kembali masa lalu."
  • Biologi - untuk memahami lebih lanjut tentang Kreasionisme dan persidangan Scopes, The New York Times merekomendasikan untuk melihat "klip film William Jennings Bryan yang berhadapan dengan Clarence Darrow, pengacara pembela." [51]

Lihat juga

Referensi

  1. ^ Dondlinger, Mary Jo (2007). "Educational Video Game Design: A Review of the Literature". Journal of Applied Educational Technology. 4 (1). 
  2. ^ Howard Witt (February 27, 2007). "Video games good teachers?". Chicago Tribune. Herald.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal March 4, 2007.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  3. ^ Eugene Joseph (2012). "Bot Colony – a Video Game Featuring Intelligent Language-Based Interaction with the Characters" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal July 15, 2014.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  4. ^ Willaert, Kate (2019-09-09). "The Sumerian Game: The Most Important Video Game You've Never Heard Of". A Critical Hit. Diakses tanggal 2019-09-10. 
  5. ^ Abt, C. C. (1970). Serious games: The art and science of games that simulate life. USA: New Yorks Viking.
  6. ^ Newman, Michael Z. (May 25, 2017). "Children of the '80s Never Fear: Video Games Did Not Ruin Your Life". Smithsonian Magazine. Diakses tanggal March 9, 2021. 
  7. ^ Kirkpatrick, Grahme (2016). "Making games normal: Computer gaming discourse in the 1980s". New Media & Society. 18 (6): 1439–1454. doi:10.1177/1461444814558905. 
  8. ^ Mitchell, Peter W. (1983-09-06). "A summer-CES report". Boston Phoenix. hlm. 4. Diakses tanggal 10 January 2015. 
  9. ^ Djaouti, D., Alvarez, J., Jessel, J., & Rampnoux, O. (2011). Origins of Serious Games. Serious Games and Edutainment Applications.
  10. ^ Egenfeldt-Nielsen, S. "Making sweet music: The Educational Use of Computer Games" (PDF). www.Neuenfeldt.eu. Center for Computer Games Research. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2009-10-07.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  11. ^ Lebowitz, Josiah; Klug, Chris (2011-01-01). "Chapter Five - Making Stories Emotional". Dalam Josiah Lebowitz, Chris Klug (eds.). Interactive Storytelling for Video Games. Boston: Focal Press. hlm. 107–116. ISBN 978-0-240-81717-0. Diakses tanggal 2024-04-19. Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: editors list (link)
  12. ^ a b c Bavelier, Daphne; Green, C. Shawn; Han, Doug Hyun; Renshaw, Perry F.; Merzenich, Michael M.; Gentile, Douglas A. (2011). "Brains on video games". Nature Reviews Neuroscience. 12 (12): 763–768. doi:10.1038/nrn3135. PMC 4633025 alt=Dapat diakses gratis. PMID 22095065. 
  13. ^ "Digital Game Use: Teachers in the Classroom | The A-Games Project". gamesandlearning.umich.edu. Diakses tanggal 2016-05-15. 
  14. ^ "Gaming to learn". American Psychological Association. Diakses tanggal 2016-05-15. 
  15. ^ Hamlen, Karla R. (2013-10-01). "Trends in Children's Video Game Play: Practical but Not Creative Thinking". Journal of Educational Computing Research (dalam bahasa Inggris). 49 (3): 277–291. doi:10.2190/EC.49.3.a. ISSN 0735-6331. 
  16. ^ Greenfield, P.M. (1985). El niño y los medios de communicatión. Morata, Madrid. ISBN 9788471123022. 
  17. ^ K.D. Squire (2003). "Video games in education". Int. J. Intell. Games & Simulation. 2 (1): 49–62. 
  18. ^ Computers in Entertainment. Vol. 1. 2003. doi:10.1145/950566.950583.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  19. ^ Martinez, Léa; Gimenes, Manuel; Lambert, Eric (2023-03-27). "Video games and board games: Effects of playing practice on cognition: PLoS ONE". PLOS ONE. 17 (3): 1–18. doi:10.1371/journal.pone.0283654. ISSN 1932-6203. PMID 36972271 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  20. ^ de Aguilera, Miguel; Mendiz, Alfonso (October 2003). "Video Games and Education: (Education in the Face of a "Parallel School")". Comput. Entertain. 1 (1): 1:1–1:10. doi:10.1145/950566.950583. ISSN 1544-3574. 
  21. ^ a b Rutherford, Kevin (2010). "PLAYING/WRITING: CONNECTING VIDEO GAMES, LEARNING, AND COMPOSITION". Thesis: 12. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-28. Diakses tanggal 2020-12-19.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan) Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Rutherford 2010 12" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  22. ^ "Gaming as a teaching tool". Penn Today (dalam bahasa Inggris). 6 May 2020. Diakses tanggal 2020-11-30. 
  23. ^ Svensson, Maria (2018). Games and Extramural Gaming in the Classroom : Teachers' Perspectives on How They Perceive and Use Games and Extramural Gaming in the Upper Secondary Classroom. 
  24. ^ Shanbari, Hamzah; Issa, Raja R. A. (2018-01-24). "Use of video games to enhance construction management education". International Journal of Construction Management. 19 (3): 206–221. doi:10.1080/15623599.2017.1423166. ISSN 1562-3599. 
  25. ^ Hanghøj, Thorkild; Lieberoth, Andreas; Misfeldt, Morten (2018). "Can cooperative video games encourage social and motivational inclusion of at-risk students?". British Journal of Educational Technology. 49 (4): 775–799. doi:10.1111/bjet.12642. ISSN 1467-8535. 
  26. ^ a b c d e f g h i Nick Tannahill; Patrick Tissington; Carl Senior (2012). "Video Games and Higher Education: What Can 'Call of Duty' Teach our Students?". Frontiers in Psychology. 3: 210. doi:10.3389/fpsyg.2012.00210. PMC 3382412 alt=Dapat diakses gratis. PMID 22737142. 
  27. ^ Papastergiou, Marina (2009-11-01). "Exploring the Potential of Computer and Video Games for Health and Physical Education: A Literature Review". Computers & Education. 53 (3): 603–622. doi:10.1016/j.compedu.2009.04.001. 
  28. ^ Shute, Valerie J.; et al. (2015). "The power of play: The effects of Portal 2 and Lumosity on cognitive and noncognitive skills". Computers & Education. 80: 58–67. doi:10.1016/j.compedu.2014.08.013. (perlu berlangganan)
  29. ^ Barr, Matthew (2017). "Video games can develop graduate skills in higher education students". Computers & Education. 113: 86–97. doi:10.1016/j.compedu.2017.05.016. publikasi akses terbuka - bebas untuk dibuka
  30. ^ Poli, Dorothybelle; et al. (2012). "Bringing Evolution to a Technological Generation: A Case Study with the Video Game SPORE". American Biology Teacher. 74 (2): 100–103. doi:10.1525/abt.2012.74.2.7. (perlu berlangganan)
  31. ^ Różycki, Łukasz (January 2012). "Ł. Różycki (2012), Video games in the process of historical education at the academic level, Colloquium, t. 4/2012, p. 75–82". Colloquium. Diakses tanggal September 27, 2016. 
  32. ^ Squire, K.D. (2005). "Changing the game: what happens when video games enter the classroom?" (PDF). Innovate: Journal of Online Education. 1. ISSN 1552-3233. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal October 3, 2006.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  33. ^ Trout, Josh; Christie, Brett (May 2007). "Interactive Video Games in Physical Education". Journal of Physical Education, Recreation & Dance. 78 (5): 29–45. doi:10.1080/07303084.2007.10598021. ISSN 0730-3084. 
  34. ^ Kiili, Kristian Juha Mikael; Devlin, Keith; Perttula, Arttu; Tuomi, Pauliina; Lindstedt, Antero (7 December 2015). "View of Using video games to combine learning and assessment in mathematics education". International Journal of Serious Games. 2 (4). doi:10.17083/ijsg.v2i4.98. Diakses tanggal 2018-11-05. 
  35. ^ Annetta, Leonard A. “Video Games in Education: Why They Should Be Used and How They Are Being Used.” Theory Into Practice, vol. 47, no. 3, 2008, pp. 229–239. JSTOR, JSTOR, www.jstor.org/stable/40071547.
  36. ^ Moro, Christian; Phelps, Charlotte; Stromberga, Zane (2020-08-14). "Utilizing serious games for physiology and anatomy learning and revision". Advances in Physiology Education. 44 (3): 505–507. doi:10.1152/advan.00074.2020. ISSN 1043-4046. PMID 32795126. 
  37. ^ Moro, Christian; Stromberga, Zane (2020-07-05). "Enhancing variety through gamified, interactive learning experiences". Medical Education (dalam bahasa Inggris). 54 (12): 1180–1181. doi:10.1111/medu.14251. ISSN 0308-0110. PMID 32438478. 
  38. ^ Uhls, Yalda T.; Michikyan, Minas; Morris, Jordan; Garcia, Debra; Small, Gary W.; Zgourou, Eleni; Greenfield, Patricia M. (2014-10-01). "Five days at outdoor education camp without screens improves preteen skills with nonverbal emotion cues". Computers in Human Behavior. 39: 387–392. doi:10.1016/j.chb.2014.05.036. ISSN 0747-5632. 
  39. ^ Baek, Y.K. (2008). "What hinders teachers in using computer and video games in the classroom? Exploring factors inhibiting the uptake of computer and video games". CyberPsychology & Behavior. 11 (6): 665–671. doi:10.1089/cpb.2008.0127. PMID 19006464. 
  40. ^ a b Bogost, Ian (2008). "The Rhetoric of Video Games" (PDF). The Ecology of Games: Connecting Youth, Games, and Learning.: 120. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal July 14, 2015.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  41. ^ a b Gallagher, Danny (March 10, 2013). "7 health benefits of playing video games". The Week. Diakses tanggal 2024-08-31. 
  42. ^ Barr, Matthew (2018-03-01). "Student attitudes to games-based skills development: Learning from video games in higher education" (PDF). Computers in Human Behavior. 80: 283–294. doi:10.1016/j.chb.2017.11.030. ISSN 0747-5632. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2018-07-22.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  43. ^ Brodin, Jane (2010-03-01). "Can ICT give children with disabilities equal opportunities in school?". Improving Schools (dalam bahasa Inggris). 13 (1): 99–112. doi:10.1177/1365480209353483. ISSN 1365-4802. 
  44. ^ Lee, Jin-Hee; Choi, Eikyu; Song, Minseok; Shin, Byeong-Seok (2012-04-27). "Dreamware: edutainment system for children with developmental disability". Multimedia Tools and Applications (dalam bahasa Inggris). 68 (2): 305–319. doi:10.1007/s11042-012-1089-x. ISSN 1380-7501. 
  45. ^ Standen, P. J.; Brown, D. J. (2006-09-22). "Virtual reality and its role in removing the barriers that turn cognitive impairments into intellectual disability" (PDF). Virtual Reality (dalam bahasa Inggris). 10 (3–4): 241–252. doi:10.1007/s10055-006-0042-6. ISSN 1359-4338. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2018-07-19.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  46. ^ "Effect of computer-based video games on children: An experimental study" (PDF). 7 May 2022. 
  47. ^ "Disadvantages - Games in Education". sites.google.com. Diakses tanggal 2016-05-15. 
  48. ^ Young, Michael F.; Slota, Stephen; Cutter, Andrew B.; Jalette, Gerard; Mullin, Greg; Lai, Benedict; Simeoni, Zeus; Tran, Matthew; Yukhymenko, Mariya (2012-03-01). "Our Princess Is in Another Castle A Review of Trends in Serious Gaming for Education". Review of Educational Research (dalam bahasa Inggris). 82 (1): 61–89. doi:10.3102/0034654312436980. ISSN 0034-6543. 
  49. ^ Duff, Simon (2015-03-01). Fran C. Blumberg, ed. "Learning by Playing: Video Gaming in Education". Psychology Learning & Teaching (dalam bahasa Inggris). 14 (1): 77–79. doi:10.1177/1475725714565261. ISSN 1475-7257. 
  50. ^ The Nation. Diarsipkan dari versi asli Parameter |archive-url= membutuhkan |url= (bantuan) tanggal April 3, 2019.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan); Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)
  51. ^ a b Fred M. Hechinger (January 14, 1986). "About education: video cassettes bring history to life". The New York Times. 

Karya yang dikutip

  • Achtman, R. L.; C. S. Green; Daphne Bavelier (2008). "Video games as a tool to train visual skills". Restorative Neurology and Neuroscience. 26 (4, 5): 435–446. PMC 2884279 alt=Dapat diakses gratis. PMID 18997318. 
  • Chang, Maiga; et al., ed. (2009). Learning by Playing. Game-based Education System Design and Development: 4th International Conference on E-learning, Edutainment 2009, Banff, Canada, August 9-11, 2009, Proceedings. Information Systems and Applications, incl. Internet/Web, and HCI. 5670. Springer Science & Business Media. ISBN 9783642033636.