Bhatti

Seorang umat perumahtangga di Myanmar sedang melaksanakan praktik meditasi. Menurut Buddhisme, mengamalkan Dhamma (ajaran Buddha) merupakan cara terbaik untuk memuja Buddha.
Bagian dari seri tentang
Buddhisme
  • Daftar istilah
  • Indeks
  • Garis besar
  • Sejarah
  • Penyebaran
Buddhisme awal
Benua
Populasi signifikan
Theravāda
Mahāyāna-Vajrayāna
Kitab daring
  • SuttaCentral
  • Chaṭṭha Saṅgāyana Tipiṭaka
  • dhammatalks.org
  • 84000
  • NTI Reader - Taishō
  • Budaya
  • Masyarakat
  •  Portal Buddhisme
  • l
  • b
  • s

Bhatti (Pāli), bhakti (Sanskerta), atau bakti—salah satu bagian praktik terpenting dalam Buddhisme—mengacu pada komitmen terhadap ketaatan religius, suatu objek, atau orang tertentu (biasanya anggota monastik dan orang tua).[1] Menurut juru bicara Sāsana Council of Burma, bakti kepada praktik spiritual Buddhis menginspirasi bakti kepada Tiga Permata, yaitu Buddha, Dhamma, dan Saṅgha.[2] Banyak umat Buddha memanfaatkan berbagai macam ritual dalam praktik spiritual mereka.[3]

Beberapa praktik-praktik bakti Buddhis:

  • namakkāra atau bersujud:
    • kepada rupang Buddha Gotama
    • di aliran Mahayana, juga kepada para Buddha dan bodhisattva lainnya;
    • kepada tokoh spiritual:
      • seorang biksu/bhikkhu yang lebih muda kepada biksu/bhikkhu lain yang lebih senior
      • seorang biksuni/bhikkhuṇī yang lebih muda kepada biksuni/bhikkhuṇī lain yang lebih senior
      • seorang biksuni/bhikkhuṇī kepada seorang biksu/bhikkhu
      • seorang umat awam kepada seorang biksu/bhikkhu atau biksuni/bhikkhuṇī
  • pūjā atau pemujaan:
    • mempersembahkan bunga, lilin, dan lain-lain di altar Buddha
    • melafalkan:
      • Tiga Perlindungan
      • paritta perlindungan dari mara bahaya: di dalam Saṁyutta Nikāya dan Saṁyukta Āgama, diceritakan Buddha mengajarkan sebuah syair kepada para biksu sehingga dapat melindungi diri mereka sendiri dari gigitan ular. Isi syair ini adalah tentang cinta kasih universal, belas kasihan, dan tidak menyakiti kepada semua makhluk.
      • mantra dan dharani untuk aliran Mahayana: termasuk Sutra Hati dan mantra “oṃ maṇi padme hūm̐
      • penghormatan kepada Amitabha untuk aliran Tanah Suci
      • penghormatan kepada Sutra Teratai untuk aliran Nichiren
  • dhammayātrā atau berziarah:
    • menurut sumber-sumber[4] yang diakui oleh para ahli, Buddha sesaat menjelang kematiannya, merekomendasikan empat tempat berikut untuk dikunjungi oleh umat Buddha:
      • tempat kelahiran-Nya di (Lumbini)
      • tempat Dia mencapai Pencerahan (Bodh Gaya)
      • tempat Dia memberikan ajaran untuk pertama kalinya (dekat Benares)
      • tempat Dia wafat (Kusinara)

Namakkāra

Namakkāra (Pali; Sanskerta: namaskāra atau namaḥkāra), paṇipāta, atau sujud (bahasa Indonesia) merupakan gerakan yang dipraktikan dalam Buddhisme untuk menghormati Tiga Permata; atau suatu objek penghormatan lainnya.

Pūjā

Puja, puja bakti, atau persembahan (Pāli: pūjā bhatti; Sanskerta: pūjā bhakti) simbolis diberikan kepada Tiga Permata (Buddha, Dhamma, dan Saṅgha) sehingga menimbulkan rasa syukur dan inspirasi kontemplatif.[5] Persembahan materi biasanya melibatkan benda-benda sederhana seperti lilin yang menyala atau lampu minyak,[6] dupa yang menyala,[7] bunga,[8] makanan, buah, air atau minuman.[9]

Dalam kerangka hukum karma dan kelahiran kembali Buddhis tradisional, persembahan mengarah pada akumulasi karma baik yang mengarah pada:

  • kelahiran kembali yang lebih baik dalam siklus kelahiran dan kematian
  • kemajuan menuju pembebasan dari penderitaan.[10]

Persembahan ini sering kali berfungsi sebagai persiapan untuk meditasi.[11]

Dalam tradisi Theravāda, ada dua jenis persembahan yang berbeda:

  • persembahan materi atau keramahtamahan (Pali: āmisa-pūjā[12] atau sakkara-pūjā[13])[14]
  • persembahan latihan (Pali: paṭipatti-pūjā[15])

Theravāda

Puja materi

Persembahan materi (āmisa-pūjā atau sakkara-pūjā) dianggap sebagai persembahan eksternal berupa "perkataan dan perbuatan".[12] Persembahan materi mencakupi praktik derma atau kemurahan hati (Pali: dāna atau caga).[16] Praktik ini juga merupakan praktik penghormatan Tiga Permata (Buddha, Dhamma dan Sangha) dengan tujuan untuk memperdalam komitmen seseorang terhadap Jalan Mulia Berunsur Delapan.

Darasan (chanting) tradisional dalam bahasa Pali yang dilantunkan ketika mempersembahkan lilin yang menyala (padīpa pūjā) dan dupa (sugandha pūjā) kepada rupang Buddha adalah:[17][18][19]

Ghanasārappadittena
Dīpena tama-dhaṃsinā
Tiloka-dīpaṃ sambuddhaṃ
Pūjayāmi tamo-nudaṃ

Ghandha-sambhāra-yuttena
Dhūpenāhaṃ sugandhinā
Pūjaye pūjaneyyaṃ taṃ
Pūjābhajanamuttamaṃ

Dengan pelita yang bersinar cemerlang,
Yang melenyapkan kegelapan ini
Saya menghormati Sang Buddha yang sempurna
Sang Penerang terhadap tiga penjuru dunia

Dengan dupa yang harum
dan aroma yang semerbak
Saya bersujud kepada Sang Bhagava
Yang mulia dan patut dihormati

Dengan merenungkan suatu persembahan, seseorang secara nyata melihat ketidakkekalan hidup (Pali: anicca), salah satu dari Tiga Karakteristik segala sesuatu yang menjadi dasar ajaran Sang Buddha kepada murid-murid-Nya. Praktik ini tertuang pada bagian akhir dari salah satu darasan tradisional berbahasa Pāli ketika mempersembahkan bunga (puppha pūjā) kepada Buddha:[17][20]

Vaṇṇa gandha guṇopetaṃ,
etaṃ kusuma santatiṃ;

Pūjayāmi munindassa,
siripāda saroruhe;

Pūjemi buddhaṃ kusumenanena,
puññena metena ca hotu mokkhaṃ;

Pupphaṃ milāyāti yathā,
idaṃ me kāyo tathā yāti vināsa bhāvaṃ.

Berkualitas baik, harum, dan beraneka warna,
selama setumpuk bunga ini bertahan;

Saya memuja Sang Bijak Nan Suci,
pada telapak kaki-Nya yang berada di atas teratai;

Saya memuja Buddha dengan bunga ini,
dengan kebajikan ini semoga saya mencapai pembebasan (moksa);

Layaknya bunga-bunga ini yang akan layu,
demikian tubuhku ini akan mengalami kehancuran.

Puja nonmateri

Persembahan nonmateri atau persembahan latihan (paṭipatti-pūjā) dapat diwujudkan dengan mengembangkan latihan-latihan:

Dalam Kanon Pali, Sang Buddha menyatakan persembahan latihan (paṭipatti) sebagai "cara terbaik untuk menghormati Sang Buddha"[21] dan sebagai persembahan "tertinggi".[22] Ini terutama merupakan persembahan internal untuk pengembangan mental (citta, bhāvanā, dan samādhi).[23]

“Tetapi Ananda, bhikkhu atau bhikkhuni manapun, baik laki-laki maupun perempuan, yang menjalankan Dhamma, hidup lurus dalam Dhamma, berjalan di jalan Dhamma, melalui orang itulah Tathagata dihormati, dimuliakan, dijunjung, dipuja, dan dihormati dengan derajat tertinggi.”

— Mahāparinibbāna Sutta, Dīgha Nikāya

Berdoa

Secara umum, umat Buddha Theravāda mendefinisikan ulang terminologi berdoa sebagai aktivitas batin yang merenungi Dhamma dan menyampaikan puji-pujian kepada Tiratana, bukan meminta sesuatu yang diinginkan kepada makhluk apa pun. Jika berdoa didefinisikan sebagai suatu aktivitas batin yang memohon atau meminta sesuatu yang diinginkan—misalnya kebahagiaan—kepada dewa, brahma, atau makhluk apa pun yang diyakini bisa memberikannya, maka Buddhisme menolak kegiatan berdoa. Dengan pengertian tersebut, kebahagiaan dianggap hanya bisa didapatkan melalui berdoa dan merupakan hadiah dari makhluk yang diminta. Apabila makhluk tersebut tidak berkenan, maka kebahagiaan tidak bisa terwujud karena tidak ada makhluk lain yang bisa menghalangi kehendaknya; termasuk diri sendiri. Dengan demikian, kebahagiaan menjadi sesuatu yang berada di luar kuasa seseorang. Dengan batasan istilah seperti ini, maka paritta buddhis, seperti Ettāvatā dan Brahmavihārapharaṇa, tidak termasuk dalam terminologi berdoa karena keduanya melibatkan perbuatan baik yang menjadi faktor utama kemunculan kebahagiaan.[24]

Dengan tiadanya pencipta dunia, pandangan Buddhisme mengenai berdoa pun tidak melibatkan kehadiran pencipta dunia. Dalam Iṭṭha Sutta, Aṅguttara Nikāya 5.43,[25] Buddha menyatakan bahwa kecantikan, kebahagiaan, kemasyhuran, dan alam surga tidak dapat diperoleh melalui doa-doa atau aspirasi-aspirasi. Kecantikan, kebahagiaan, kemasyhuran, dan alam surga hanya dapat diperoleh dengan mempraktikkan jalan yang menuju padanya. Alih-alih berdoa untuk meminta kebahagiaan kepada suatu sosok, Sammāsambuddha mengatakan bahwa sebab dari kebahagiaan adalah mengikuti jalan yang membawa ke kebahagiaan. Jalan yang membawa ke kebahagiaan adalah praktik-praktik kebajikan seperti dāna (bederma), sīla (moralitas) dan lain-lain (dānasīlādikā puññapaṭipadā).[24]

... “Pañcime, gahapati, dhammā iṭṭhā kantā manāpā dullabhā lokasmiṁ. Katame pañca? Āyu, gahapati, iṭṭho kanto manāpo dullabho lokasmiṁ; vaṇṇo iṭṭho kanto manāpo dullabho lokasmiṁ; sukhaṁ iṭṭhaṁ kantaṁ manāpaṁ dullabhaṁ lokasmiṁ; yaso iṭṭho kanto manāpo dullabho lokasmiṁ; saggā iṭṭhā kantā manāpā dullabhā lokasmiṁ. Ime kho, gahapati, pañca dhammā iṭṭhā kantā manāpā dullabhā lokasmiṁ.

Imesaṁ kho, gahapati, pañcannaṁ dhammānaṁ iṭṭhānaṁ kantānaṁ manāpānaṁ dullabhānaṁ lokasmiṁ na āyācanahetu vā patthanāhetu vā paṭilābhaṁ vadāmi. Imesaṁ kho, gahapati, pañcannaṁ dhammānaṁ iṭṭhānaṁ kantānaṁ manāpānaṁ dullabhānaṁ lokasmiṁ āyācanahetu vā patthanāhetu vā paṭilābho abhavissa, ko idha kena hāyetha?

(1) Na kho, gahapati, arahati ariyasāvako āyukāmo āyuṁ āyācituṁ vā abhinandituṁ vā āyussa vāpi hetu. Āyukāmena, gahapati, ariyasāvakena āyusaṁvattanikā paṭipadā paṭipajjitabbā. Āyusaṁvattanikā hissa paṭipadā paṭipannā āyupaṭilābhāya saṁvattati. So lābhī hoti āyussa dibbassa vā mānusassa vā.

(2) Na kho, gahapati, arahati ariyasāvako vaṇṇakāmo vaṇṇaṁ āyācituṁ vā abhinandituṁ vā vaṇṇassa vāpi hetu. Vaṇṇakāmena, gahapati, ariyasāvakena vaṇṇasaṁvattanikā paṭipadā paṭipajjitabbā. Vaṇṇasaṁvattanikā hissa paṭipadā paṭipannā vaṇṇapaṭilābhāya saṁvattati. So lābhī hoti vaṇṇassa dibbassa vā mānusassa vā.

(3) Na kho, gahapati, arahati ariyasāvako sukhakāmo sukhaṁ āyācituṁ vā abhinandituṁ vā sukhassa vāpi hetu. Sukhakāmena, gahapati, ariyasāvakena sukhasaṁvattanikā paṭipadā paṭipajjitabbā. Sukhasaṁvattanikā hissa paṭipadā paṭipannā sukhapaṭilābhāya saṁvattati. So lābhī hoti sukhassa dibbassa vā mānusassa vā.

(4) Na kho, gahapati, arahati ariyasāvako yasakāmo yasaṁ āyācituṁ vā abhinandituṁ vā yasassa vāpi hetu. Yasakāmena, gahapati, ariyasāvakena yasasaṁvattanikā paṭipadā paṭipajjitabbā. Yasasaṁvattanikā hissa paṭipadā paṭipannā yasapaṭilābhāya saṁvattati. So lābhī hoti yasassa dibbassa vā mānusassa vā.

(5) Na kho, gahapati, arahati ariyasāvako saggakāmo saggaṁ āyācituṁ vā abhinandituṁ vā saggānaṁ vāpi hetu. Saggakāmena, gahapati, ariyasāvakena saggasaṁvattanikā paṭipadā paṭipajjitabbā. Saggasaṁvattanikā hissa paṭipadā paṭipannā saggapaṭilābhāya saṁvattati. So lābhī hoti saggānanti.

... “Perumah tangga, ada lima hal ini yang diharapkan, diinginkan, disukai, dan jarang diperoleh di dunia ini. Apakah lima ini? Umur panjang, perumah tangga, adalah diharapkan, diinginkan, disukai, dan jarang diperoleh di dunia ini. Kecantikan … Kebahagiaan … Kemasyhuran … Alam surga adalah diharapkan, diinginkan, disukai, dan jarang diperoleh di dunia ini. Ini adalah kelima hal yang diharapkan, diinginkan, disukai, dan jarang diperoleh di dunia ini.

“Kelima hal ini, perumah tangga, yang diharapkan, diinginkan, disukai, dan jarang diperoleh di dunia ini, Aku katakan, tidak dapat diperoleh melalui doa-doa atau aspirasi-aspirasi. Jika kelima hal ini yang diharapkan, diinginkan, disukai, dan jarang diperoleh di dunia ini dapat diperoleh melalui doa-doa atau aspirasi-aspirasi, siapakah yang akan kekurangan sesuatu?

(1) “Perumah tangga, siswa mulia yang menginginkan umur panjang seharusnya tidak berdoa demi umur panjang atau bersenang-senang di dalamnya atau [secara pasif] merindukannya. Seorang siswa mulia yang menginginkan umur panjang harus mempraktikkan jalan yang mengarah pada umur panjang. Karena ketika ia mempraktikkan jalan yang mengarah pada umur panjang, maka hal itu akan mengarah pada diperolehnya umur panjang, dan ia memperoleh umur panjang apakah surgawi atau pun manusiawi.

(2) “Perumah tangga, siswa mulia yang menginginkan kecantikan …

(3) … yang menginginkan kebahagiaan …

(4) … yang menginginkan kemasyhuran seharusnya tidak berdoa demi kemasyhuran atau bersenang-senang di dalamnya atau [secara pasif] merindukannya. Seorang siswa mulia yang menginginkan kemasyhuran harus mempraktikkan jalan yang mengarah pada kemasyhuran. Karena ketika ia mempraktikkan jalan yang mengarah pada kemasyhuran, maka hal itu akan mengarah pada diperolehnya kemasyhuran, dan ia memperoleh kemasyhuran apakah surgawi atau pun manusiawi.

(5) “Perumah tangga, siswa mulia yang menginginkan surga seharusnya tidak berdoa demi surga atau bersenang-senang di dalamnya atau [secara pasif] merindukannya. Seorang siswa mulia yang menginginkan surga harus mempraktikkan jalan yang mengarah menuju surga. Karena ketika ia mempraktikkan jalan yang mengarah menuju surga, maka hal itu akan mengarah pada diperolehnya surga, dan ia memperoleh surga.” ...

Mahāyāna

Dalam tradisi Buddhisme Utara, objek puja seperti rupang Buddha atau penggambaran suci lainnya diletakkan di belakang:

  • air (melambangkan keramahtamahan, untuk membasuh muka dan kaki)
  • syal (Tibet kha-btags, pesembahan persahabatan)
  • bunga, dupa, lampu, wewangian dan makanan (mewakili seseorang yang mengabdikan seluruh indranya untuk latihan spiritual).[26]

Puja dengan materi dipenuhi dengan pemaknaan sebagai berikut:

  • penyalaan lilin atau lampu minyak melambangkan cahaya kebijaksanaan yang menerangi kegelapan kebodohan.
  • pembakaran dupa melambangkan wangi moralitas.
  • bunga melambangkan cita-cita untuk mencapai tubuh Buddha dengan tiga puluh dua tanda Buddha serta ajaran ketidakkekalan. Sebagai alternatif, sebuah syair Zen mengungkapkan keinginan agar "bunga" pikiran "mekar di musim semi pencerahan".[27]
  • makanan, buah, air, minuman melambangkan nektar Dharma dan keinginan untuk mencapainya.

Dhammayātrā

Dhammayātrā (Pāli), dharmayātrā (Sanskerta), dharmayatra, atau ziarah Buddhis adalah praktik untuk berkunjung ke tempat-tempat suci agama Buddha.

Referensi

  1. ^ Harvey, page 170
  2. ^ Morgan, pages v, 73
  3. ^ Macmillan (Volume One), page 139
  4. ^ Digha Nikaya, volume II, pages 140f (PTS pagination)
  5. ^ See, for instance, Harvey (1990), pp. 172-3.
  6. ^ Indaratana (2002), pp. iv, v; Kapleau (1989), p. 193; Khantipalo (1982); Lee & Thanissaro (1998).
  7. ^ Indaratana (2002), pp. 11-12.
  8. ^ See, for instance, Indaratana (2002), pp. 11-12. Harvey (1990), p. 173, and Kariyawasam (1995), chapter 1, both maintain that flowers are the most common form of offering.
  9. ^ Kapleau (1989), p. 193; Khantipalo (1982); and, Harvey (1990), p. 175, particularly in regards to Northern Buddhism.
  10. ^ Lee & Thanissaro (1998). See also Harvey (1990), p. 173, who in discussing "offerings" states: "Such acts consequently generate 'merit'."
  11. ^ See, for instance, Indaratana (2002), p. v; Kapleau (1989), pp. 191ff.; and Khantipalo (1982).
  12. ^ a b Lee & Thanissaro (1998).
  13. ^ Khantipalo (1982).
  14. ^ See also Alms#Buddhism regarding the traditional Theravada offering of providing daily alms to bhikkhus.
  15. ^ Khantipalo (1982); Lee & Thanissaro (1998).
  16. ^ See, for instance, Lee & Thanissaro (1998).
  17. ^ a b Indaratana (2002), p. 12.
  18. ^ Indaratana (2002), p. 11. See also Harvey (1990), p. 175, who translates the light-offering verse in part as describing the Buddha as "the lamp of the three worlds, dispeller of darkness."
  19. ^ Harvey (1990), p. 175.
  20. ^ Indaratana (2002), p. 11. Similarly, see Harvey (1990), p. 173; and, Kariyawasam (1995), ch. 1, sect. 2, "Personal Worship."
  21. ^ Kantipalo (1982), n. 1.
  22. ^ Lee & Thanissaro (1998).
  23. ^ "Maha-parinibbana Sutta: Last Days of the Buddha". 
  24. ^ a b Kheminda, Ashin. "Berdoa Dari Sudut Pandang Buddhisme". Dhammavihari Buddhist Studies. Diakses tanggal 2022-09-19. 
  25. ^ Anggara, Indra. "AN 5.43: Iṭṭhasutta". SuttaCentral. Diakses tanggal 2022-09-18. 
  26. ^ Harvey (1990), p. 175.
  27. ^ Harvey (1990), p. 173.

Daftar pustaka

  • Harvey, Peter (1990). An introduction to Buddhism: Teachings, history and practices. Cambridge: Cambridge University. ISBN 0-521-31333-3.
  • Indaratana Maha Thera, Elgiriye (2002). Vandana: The Album of Pali Devotional Chanting and Hymns. Penang, Malaysia:Mahindarama Dhamma Publication. Retrieved 2007-10-22 from "BuddhaNet" at [1]
  • Kariyawasam, A.G.S. (1995). Buddhist Ceremonies and Rituals of Sri Lanka (The Wheel Publication No. 402/404). Kandy, Sri Lanka: Buddhist Publication Society. Retrieved 2007-10-23 from "Access to Insight" (1996 transcription) at http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/kariyawasam/wheel402.html#ch3.
  • Kapleau, Philip (1989b). Zen: Merging of East and West. NY:Anchor Book. ISBN 0-385-26104-7.
  • Khantipalo, Bhikkhu (1982). Lay Buddhist Practice: The Shrine Room, Uposatha Day, Rains Residence (The Wheel No. 206/207). Kandy, Sri Lanka:Buddhist Publication Society. Retrieved 2007-10-22 from "Access to Insight" (transcribed 1995) at http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/khantipalo/wheel206.html.
  • Lee Dhammadharo, Ajaan & Thanissaro Bhikkhu (trans.) (1998). Visakha Puja. Retrieved 2007-10-22 from "Access to Insight" at http://www.accesstoinsight.org/lib/thai/lee/visakha.html.
  • Nyanaponika Thera (2000). The Vision of Dhamma: Buddhist Writings of Nyanaponika Thera. Seattle: BPS Pariyatti Editions. ISBN 1-928706-03-7.
  • Soni, R.L. & Bhikkhu Khantipalo (2006). Life's Highest Blessings: The Maha Mangala Sutta. Retrieved 2007-10-22 from "Access to Insight" at http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/soni/wheel254.htm[pranala nonaktif permanen].
  • Macmillan Encyclopedia of Buddhism, 2004
  • Morgan, Kenneth W., ed, The Path of the Buddha: Buddhism Interpreted by Buddhists, Ronald Press, New York, 1956
  • Welch, Holmes, The Practice of Chinese Buddhism, 1900-1950, Harvard University Press, 1967
  • l
  • b
  • s
   Topik Buddhisme   
Buddhisme awal
Benua
Populasi signifikan
Aliran arus utama
Sinkretisme dan gerakan baru
Theravāda
Mahāyāna-Vajrayāna
Kitab daring
  • SuttaCentral
  • Chaṭṭha Saṅgāyana Tipiṭaka
  • dhammatalks.org
  • 84000
  • NTI Reader - Taishō
Buddha penting sebelumnya
Buddha saat ini dan keluarga
4 tempat suci utama
Buddha selanjutnya
Bawahan
  • Dewa
  • Brahma
Mahāyāna-Vajrayāna
Jenis pengikut
4 tingkat kesucian
  • Hari Raya
  • Peringatan
  • Budaya
  • Masyarakat
  • Category Kategori
  •  Portal Agama
  •  Portal Buddhisme